BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Awal tahun
2003, perbankan nasional geger menyusul terjadinya pembobolan di beberapa bank
nasional. Sungguh menyegarkan bahwa saat ini dalam perbankan nasional mulai
tumbuh budaya risiko (culture risk). Pelatihan mengenai manajemen risiko
berkembang pesat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Terlebih
dengan rencana Bank Indonesia memberlakukan Basel Capital Accord II untuk
memasukkan risiko pasar dan operasional dalam penghitungan rasio kecukupan
modal (capital adequacy ratio/CAR.
Sejatinya,
manajemen risiko mempunyai tujuan tunggal, yaitu meminimalkan risiko yang
meliputi beberapa manfaat, antara lain (1) mampu memberikan informasi dan
perspektif kepada manajemen tentang semua profil risiko, perubahan mendasar
mengenai produk dan pasar, lingkungan bisnis dan perubahan yang diperlukan
dalam proses manajemen risiko; (2) mampu menyampaikan isu sentral tentang
formulasi kebijakan manajemen risiko dan review-nya; (3) mampu menghitung dan
mengukur besarnya risk exposure; (4) mampu menetapkan alokasi sumber-sumber
dana sekaligus limit risiko dengan lebih tepat; (5) mampu menghindari
konsentrasi portofolio yang berlebihan; (6) mampu membuat cadangan yang memadai
untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung; (7) mampu
menghindari potensi kerugian yang relatif lebih besar.
B.
Rumusan Masalah
Bedasarkan
latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu:
1.
apa
saja faktor internal terjadinya risiko operasional?
2.
Apa
saja faktor eksternal terjadinya risiko operasional?
3.
Bagaimana
pembagian risiko operasional berdasarkan frekuensi dan dampak terjadinya?
C.
Tujuan
Pada makalah ini saya menguraikan tentang bentuk tulisan dengan
tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui faktor internal terjadinya risiko operasional.
2.
Untuk
mengetahui faktor eksternal terjadinya risiko operasional.
3.
Untuk
mengetahui pembagian risiko operasional berdasarkan frekuensi dan dampak terjadinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Identifikasi Faktor Penentuan Risiko Oprasional
Pengelolaan
risiko operasional merupakan bagian integral dari manajemen risiko perbankan.
Risiko-risiko yang terkait dengan aktivitas bisnis harus diidentifikasi,
diukur, dinilai, dimitigasi dan dikendalikan oleh pengurus perbankan.
Pengelolaan risiko-risiko tersebut ditujukan untuk meminimalkan kemingkinan
kerugian dan potensi ancaman terhadap reputasi bank.[1] Dalam
mengidentifikasi faktor risiko
operasional pada Bank Islam, ada baiknya bila kita memahami terlebih dahulu
bagaimana risiko operasional diklasifikasikan. Secara umum, risiko operasional
bisa dibagi kedalam dua kelompok, yaitu risiko operasional berdasarkan faktor
penyebab terjadinya dan berdasarkan frekuensi serta dampak terjadinya.
Berdasarkan
penyebab terjadinya, risiko operasional dapat disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Contoh dari faktor internal ini adalah kesalahan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan, manipulasi laporan keuangan, pelanggaran aspek legal secara disengaja, kesalahan dalam sistem
IT, inovasi produk yang tidak tepat, dan ketidakpatuhan terhadap syariah.
Risiko jenis ini biasanya lebih dapat diterka probabilitas terjadinya. Terlebih
bila disertai dengan upaya-upaya pencegahannya. Sementara itu, faktor eksternal
yang dapat menimbulkan risiko oprasional
antara lain adalah sistem IT yang di-hack pihak yang tidak bertanggung jawab,
perubahan regulasi, bencana alam, dan faktor lain yang berada di luar kuasa
manajemen bank Islam. Risiko ini lebih sulit untuk diterka probabilitasnya,
bisa terjadi serta tiba-tiba dan kapan saja.
Risiko
operasional juga dapat dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan dampak terjadinya. Risiko yang
frekuensinya sering namun dampak
terjadinya kecil biasanya bisa diterima oleh Bank Islam. Risiko ini lebih dapat
diterka probabilitas terjadinya yang lebih memungkinkan untuk dicegah dengan
penerapan kontrol internal yang baik. Contoh: kesalahan dalam transaksi, kurang lengkapnya data isian pada
borang penarikan/setoran/tranfer, dimana semuanya bisa dicegah melalui
pemeriksaan berlapis. Sementara itu, risiko yang frekuensinya terjadinya rendah
namun bisa menimbulkan dampak yang besar, seperti bencana alam, bisa dikelola,
misalnya dengan membagi atau menstrasfer risiko tersebut dengan perusahaan
takaful. Adapun risiko dengan frekuensi keterjadian rendah dan kalaupun
terjadinya dampak kerugian masih bisa ditoleransi oleh Bank Islam, dapat
dikelola dengan proses krontrol internal yang memadai. Contoh risiko jenis ini, misalnya peminjaman
uang intra-day ‘ilegal’ oleh teller. Risiko ini biasanya jarang terjadi karena
adanya mekanisme segregasi tanggung jawab dan cross-checking saldo berlapis
yang dilakukan oleh operational officer dan head teller setelah jam operasional
bank Islam berakhir.
Lebih lanjut,
risiko yang kemungkinan frekuensi terjadinya tinggi dan bila terjadi
menimbulkan dampak yang bisa mengacaukan bank sudah sepatutnya untuk dicegah
dengan supervisi ketat. Contoh risiko jenis ini, seperti yang terjadi pada
kasus Citibank (Malinda Dee) pada 2011 lalu. Selalu ada kesempatan bagi private
banker untuk menyalahgunakan data maupun penggelapan dana nasabahnya. Terhadap
risiko seperti ini diperlukan supervisi
yang jelas dan pelaksanaan kontrol internal yang baik dan disosialisasikan termasuk
kepada nasabah private banking tersebut agar bertransaksi sesuai prosedur.
Memercayakan transaksi tanpa mengikuti prosedur, dalam hal ini menandatangani
blangko kosong dan menitipkannya kepada seorang yang sudah terlau lama
menduduki jabatan yang sama bisa diibaratkan seperti memberi kesempatan orang
tersebut untuk berbuat pelanggaran.[2]
Sementara
risiko operasional bisa muncul akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan
teknologi, manajemen atas risiko ini lebih kompleks lagi. Senior manajeman
perlu memenetapkan standar menejemen risiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas,
yang dapat mereduksi risiko operasional
ini. Di samping itu, perhatian juga perlu ditekankan pada risiko aspek manusia,
proses, dan teknologi yang bisa muncul dalam lembaga. Dengan tetap
memperhatikan sumber-sumber munculnya risiko operasional, standar identifikasi
dan menajemen yang dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu
ditekankan untuk mengatasi risiko operasional yang muncul dari departemen atau
unit organisasi akibat faktor manusia, proses, dan teknologi. Pedoman dan
aturan juga harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak manajemen juga
perlu mengembangkan “katalog risiko operasional” di mana peta dari proses
bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya,
proses bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor perlu disusun.
Katalog ini tidak saja dapat mengidentifikasi dan menilai risiko operasional,
tetapi juga dapat dipakai sebagai bukti transparansi oleh pihak manajemen
auditor.
Risiko
operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukurnya.
Sebagian besar teknik pengukuran risiko operasional yang ada masih sangat
sederhana dan bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat mengumpulkan
informasi tentang berbagai jenis dari laporan
dan rencana yang dipublikasikan dalam lembaga (seperti laporan audit,
laporan pengawasan, laporan manajemen, rencana bisnis, rencana operasional,
tingkat error, dan lain-lain. Sementara terdapat berbagai sumber risiko
operasional, yang perlu dikelola melalui berbagai cara. Terutama, risiko yang
muncul akibat faktor manusia perlu dikelola, dimonitor, dan dikontrol secara
efektif, yaitu melalui perbuatan prosedur operasi yang memadai. Salah satu
unsur terpenting untuk mengontrol risiko operasional dalah adanya pemisahan
tanggung jawab yang jelas dan dimilikinya rencana-rencana kontigensi. Unsur
penting lainnya adalah meyakinkan bahwa sistem pelaporan telah konsisten, aman,
dan bisnis yang independen. Dan auditor internal memainkan peran penting dalam
memitigasi risiko operasional.[3]
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas pemakalah dapat mengambil
kesimpulan sebgai berikut:
1.
Faktor
Internal
Kesalahan atau pelanggaran
yang dilakukan oleh karyawan, manipulasi laporan keuangan, pelanggaran aspek legal secara disengaja, kesalahan dalam, bisa
sistem IT, inovasi produk yang tidak tepat, dan ketidakpatuhan terhadap
syariah.
2.
Faktor
Ekternal
Sistem IT yang di-hack
pihak yang tidak bertanggung jawab, perubahan regulasi, bencana alam, dan
faktor lain yang berada di luar kuasa manajemen bamnk Islam.
3.
Risiko
operasional juga dapat dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan dampak terjadinya. Risiko yang
frekuensinya sering namun dampak
terjadinya kecil biasanya bisa diterima oleh Bank Islam. Risiko ini lebih dapat
diterka probabilitas terjadinya yang lebih memungkinkan untuk dicegah dengan
penerapan kontrol internal yang baik. Contoh: kesalahan dalam transaksi, kurang lengkapnya data isian pada
borang penarikan/setoran/tranfer, dimana semuanya bisa dicegah melalui
pemeriksaan berlapis. Sementara itu, risiko yang frekuensinya terjadinya rendah
namun bisa menimbulkan dampak yang besar, seperti bencana alam, bisa dikelola,
misalnya dengan membagi atau menstrasfer risiko tersebut dengan perusahaan
takaful.
FUCK THAT MOUSE!!
BalasHapussorry
BalasHapus